Kamis, 25 April 2013

Politik Ketar-ketir

Diakui atau tidak, pengambilan suatu keputusan tidak terlepas dari tekanan politik, baik di lingkup perusahaan, maupun pemerintah. Bahkan, keputusan yang telah dibuatpun bisa berupa dengan cepat karena tekanan politik, sehingga peraturan itu tidak bertahan lama.



Akibatnya, implementasi di lapangan menjadi kacau-balau. Faktor kepentingan kerap mendominasi keputusan tersebut. Celakanya, hal ini seakan lumrah terjadi di negara Indonesia.

Terbaru adalah revisi aturan impor hortikultura dan impor daging sapi oleh Kementeria Pertanian. Pada
mulanya, aturan impor hortikultura dibuat untuk membatasi impor sehingga produk yang sama di dalam negeri terlindungi.

Namun, karena permasalahan kelangkaan bawang putih dan bawang merah, aturan direvisi, di mana dalam
aturan sebelumnya impor dibatasi, dalam aturan baru terdapat 18 komoditi tidak dibatasi impornya. Begitu juga halnya dengan impor daging.

Setiap para elit politik di pusat maupun pejabat pemerintah meributkan tentang ketidakcukupan pasokan daging di pasar. Perkara daging ini menguak tabir adanya dugaan kartel oleh pengusaha dan menyeret-nyeret politisi dan pejabat pemerintah.

Hampir sama kasusnya dengan impor hortikultura, begitu terjadi kelangkaan, kran impor dibuka. Dikritisi, aturan cepat berganti. Hal ini seakan-akan dalam membuat kebijakan para petinggi tidak membuat perhitungan yang matang, bahkan terkesan asal-asalan. Asal siap, jalan. Tidak ada kritikan, jalan. Namun, begitu ada kritikan, langsung surut, seakan pembuat kebijakan tidak memiliki pijakkan yang tetap untuk mempertahankan aturan yang telah dibuat.

Belum lagi politik 'asal bapak senang' yang diterapkan banyak pejabat. Kebijakan dibuat tidak lagi berdasarkan kebutuhan dan penegakkan hukum, tetapi untuk mencari perhatian masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari faktor politis untuk mempublikasikan diri dan partai yang diusung.

Persaingan antar partai dan antar personal turut mewarnai pengambilan keputusan. Tidak jarang terjadi pengambilan keputusan karena desakkan banyak pihak untuk mendahulukan kepentingannya, ketimbang
kepentingan orang banyak. Akibatnya, di kemudian hari banyak terjadi masalah yang kembali mendapat
kritikkan dari pihak lain. Politik yang diterapkan dalam pengambilan keputusan ini saya beri nama politik ketar-ketir, lari sana, selamatkan di sini, ditekan di sini, lari lagi. Lantas, sampai kapan kondisi ini akan
berlanjut? Haruskan masyarakat selalu menjadi korban? Dibutuhkan ketegasan dan kajian yang matang dalam pengambilan kebijakan, apalagi menyangkut masyarakat banyak. ***

Tidak ada komentar: