Selasa, 13 Maret 2012

Tanjung Pantun, Riwayatmu Kini

Menengok Pusat Bisnis Pertama di Batam 


BATAM- Komplek Pertokoan Tanjung Pantun dibangun oleh PT Tanjung Pantun sekitar tahun 1970-an. Pasar ini merupakan satu-satunya di Batam yang menjadi ikon pada masa itu. 

Oleh: Nana Marlina, Liputan Batam

"Belum ke Batam, bila belum ke Pasar Tanjung Pantun". Begitu pameo yang beredar di masyarakat kala itu. Ya, tidak berlebihan memang, karena Pasar Tanjung Pantun yang berada di Seijodoh merupakan satu-satunya pasar di Batam. Pasar ini menjadi pusat segala macam kebutuhan masyarakat Batam, mulai dari kebutuhan bahan pokok sehari-hari, sandang, elektronik, bahan bangunan hingga hiburan.



Di kawasan ini dulunya juga berdiri bioskop 21 yang masih terbuat dari kayu. Letaknya tidak jauh dari Hotel Planet Holiday saat ini. Sedangkan gedung Hotel Planet Holiday sendiri dulunya adalah pabrik Es Bunga Mawar milik Pengusaha Batam, Rudi Sutanto.

Harsono, salah satu pemegang saham PT Tanjung Pantun ditemui di kantornya, Komplek Tanjung Pantun Blok J No 13, Jumat (9/3) lalu mengaku sangat prihatin dengan kondisi Tanjung Pantun saat ini. Bagaimanapun, sebagai pengusaha, ia sangat menginginkan Tanjung Pantun kembali menjadi pusat grosir kebutuhan masyarakat Batam.

Diceritakan Harsono, Pasar Tanjung Pantun telah berdiri sekitar tahun 1970-an. Kala itu pasar masih terbuat dari kayu. Kemudian, sekitar awal tahun 1980-an, didirikan Plaza Tanjung Pantun, plaza pertama di Batam. Di Plaza ini, tersedia semua perlengkapan, paling lengkap.

Secara bertahap dibangun komplek pertokoan Tanjung Pantun dengan kaca hitam, yang hingga kini masih berdiri di kawasan tersebut. Sayangnya, saat krisi moneter melanda Indonesia tahun 1997, banyak usaha di kawasan tersebut merugi. PT Tanjung Pantun sebagai pengelola kawasan kesulitan dalam mengelola kawasan.

Masa itu menjadi awal masuknya pedagang kaki lima. Jalan-jalan dipenuhi pedagang kaki lima. Sehingga menghambat akses jalan menunju kawasan tersebut. Berkali-kali dilakukan penertiban oleh tim terpadu Pemko Batam, namun tidak lama kemudian PK5 kembali memenuhi ruas jalan Tanjung Pantun dan sekitarnya.

Puncaknya, kawasan tersebut makin terpuruk dengan dibangunnya Jodoh Boulevard tahun 2007. Akses ke Tanjung Pantun tertutup. Setelah pembangunan selesai, PK5 kembali memadati jalan, usaha yang ada di komplek tersebut satu-persatu mulai gulung tikar.

"Kontrol sangat lemah, di samping itu tempat penampungan mereka (PK5) juga tidak ada. Makanya, begitu selesai penertiban, mereka kembali lagi, semrawut lagi," sebut Harsono.

Disebutkan Harsono, saat Plaza Tanjung Pantun berdiri, 300 kios yang tersedia langsung penuh. Masing-masing kios menyediakan berbagai kebutuhan. Kemudian dibangun ruko dari Blok A-L, jumlah pengusaha di kawasan itu semakin banyak, sekitar 500 usaha. Setiap hari, transaksi yang terjadi di kawasan tersebut tak kurang dari 2 juta dolar Singapura. Karena besarnya potensi bisnis di kawasan ini, sewa kios pun sangat mahal.

Kini, pengusaha yang ada di kawasan tersebut tak sampai 100, mereka telah berbondong-bondong keluar kawasan, mencari tempat usaha baru yang lebih menjanjikan.

Kawasan yang dulu terkenal dengan sewa kios paling mahal itu, semakin hari-semakin ditinggalkan. Hotel Asean yang ada di kawasan itu kesulitan beroperasi, terakhir hotel bintang empat, Grand Majesti tutup total karena tak sanggup menanggung biaya yang begitu besar, sementara tingkat hunian terus turun.

"Tanjung Pantun sangat strategis, berada di Seijodoh. Dekat pelabuhan Bongkar Muat Sembako, banyak toko emas, toko pakaian, toko elektronik, sampai hotel berbintang tumbuh pesat di Jodoh. Pokoknya menjadi primadona. Dulu, antara Jodoh dan Nagoya belum bersatu, dipisahkan oleh sungai. Untuk ke Nagoya, harus berputar lewat Tanah Longsor," ujar Harsono.

Keterangan Harsono dibenarkan Rudi Sutanto, pemilik Pabrik Es Bunga Mawar. Rudi telah berdomisili di Batam sejak 1968. Ia hafal betul kondisi Batam, khususnya Jodoh kala itu. Jodoh disebutkannya tidak hanya sebagai pusat perbelanjaan, perusahaan besar seperti PT Escarada dan PT Dewi Putera juga ada di Jodoh, berdekatan dengan komplek Tanjung Pantun. Hal ini semakin menambah daya tarik kawasan sebagai pusat bisnis.

"Kampung Melayu dan Kampung Boyan merupakan pemukiman masyarakat di Seijodoh ini. Bioskop 21 berdiri pada tahun 1996. Saya masih ingat, tiket nonton bioskop dulu hanya Rp500," kenang Rudi.

Selain itu, Tua Pek Kong juga ada di Seijodoh, kemudian dipindahkan ke Nagoya.

"Sekarang saya bersama teman-teman yang lain untuk mengembalikan kejayaan Tanjung Pantun. Kita ingin Tanjung Pantun seperti pusat grosir Tanah Abang. Biar kawasan lain menjadi kawasan bisnis, tetapi Tanjung Pantun tetap pusat semua bisnis, pusat grosir, tidak hanya pakaian, tetapi juga elektronik. Ini yang sedang kita usahakan. Kuncinya adalah membuka akses ke kawasan ini, tentunya PK5 harus ditertibkan. Pengusaha yang dulunya ada di sini sudah sepakat, bila akses ke Tanjung Pantun sudah lancar, kawasan sudah tertata, mereka akan kembali ke sini," ujar Harsono yang menjabat sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Tanjung Pantun (Hiptun).***

Tidak ada komentar: