Selasa, 28 Januari 2014

Menanti Ketegasan


Dugaan beras impor ilegal asal Vietnam yang ditemukan di Pasar Induk Cipinang, Jakarta pekan lalu yang hingga kini diributkan, menurut salah seorang mantan importir beras besar di Jakarta, bukan hal baru. Seperti dikutip dari portal salah satu media online, kasus yang saat ini sedang bergulir diduga beras seludupan.

Akan tetapi, menurut sumber tersebut, sesungguhnya lebih terjadi seperti kasus impor daging sapi yang menyeret petinggi salah satu partai di negeri ini. Di mana ada importir yang mendapat kuota sedikit dan ada juga mendapatkan kuota banyak, tergantung 'pelicin' kepada pejabat terkait. "Pokoknya ada permainan kuota," kata importir tersebut.

Kasus ini menjadi catatan bagi Bea Cukai dengan mengeluarkan kebijakkan  mengubah proses penelitian perizinan impor beras dan proses rekonsiliasinya dengan dokumen PIB (perizinan impor barang) di portal INSW, yang tadinya sepenuhnya otomatis, akan diubah menjadi melalui proses analisa atau penelitian perizinan oleh petugas Bea Cukai.

Direktur Penerimaan dan Informasi Cukai dan Kepabeanan Bea Cukai Susiwijono menyebutkan, hal tersebut untuk meningkatkan pengawasan atas kemungkinan terjadinya penyalahgunaan perizinan.

Berkaca dari kasus ini, seharusnya di Batam juga dilakukan tindakan yang sama. Diperlukan juga ketegasan (semua) penegak hukum, mengingat di Batam hingga kini masih beredar beras kualitas medium. Padahal, sejak 2011 Batam sudah tidak lagi mendapat kuota impor beras dari Kementerian Perdagangan. Realisasinya, sangat banyak ditemukan beras-beras kualitas medium, bahkan rendah yang beredar luas dan mudah didapatkan di warung-warung kelontong.

Kondisi ini bak pisau bermata dua, satu sisi menguntungkan masyarakat, karena bisa mendapatkan beras dengan harga (sangat) terjangkau di pasaran, dibandingkan daerah lain. Di sisi lain, tidak adanya pengecekkan kualitas beras, dikhawatirkan akan merugikan masyarakat itu sendiri, karena tidak diketahui apakah beras-beras tersebut terbebas dari bahan berbahaya, mengingat masuknya tidak secara resmi. Kerugian juga dialami negara, produk asing dijual bebas tanpa ijin di negeri ini.

Namun, apabila dilakukan pengetatan (ketegasan) dalam proses masuknya produk impor ilegal, terutama beras, maka akan mengikuti harga nasional (mahal). Artinya, Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepri bersama tim pengendalian inflasi daerah (TPID) harus berjibakku dengan potensi kenaikkan inflasi. Mengingat, produk ilegal yang masuk ke Kepri, terutama Batam tidak hanya beras, tetapi juga produk lainnya di luar bahan pangan. ***

Tidak ada komentar: